KLIPING
PAHLAWAN
NASIONAL
KELOMPOK 1 :
1.
Aziel Brilliant Ardiansyah
2.
Zona Zaenal Rizky
3.
Mohammad Sholehudin Efendi
4.
Yunita Tri Kurniawati
5.
Saskya Novrista Putri
6.
Mohammad Angga Aditya
Pratama
7.
Mohammad Indra Perdana
KELAS IV
SD NEGERI SUKOREJO II
TAHUN AJARAN
2016/2017
Biodata Pangeran Diponegoro
Nama Kecil
:
Bendoro Raden Mas Ontowiryo
Nama Kenal
: Pangeran
Diponegoro
Tempat Lahir : Ngayogyakarta, 11
November 1785
Agama
:
Islam
Wafat
:
Makassar, 8 Januari 1855
Jabatan dalam Keraton : Pendamping Hamengkubuwono V
Gelar
:
Pahlawan Nasional
Diponegoro
merupakan seorang keturunan dari kerajaan Mataram Islam, yakni putra dari
Hamengkubuwono III sedangkan ibunya bernama Raden Ayu Mangkarawati (seorang
selir). Beliau memiliki 9 Istri termasuk di dalamnya selir.
Sebagaimana
sejarah Pangeran Diponegoro yang pasti sudah kamu ketahui, Diponegoro
merupakan sosok keturunan keraton yang bersifat arif dan bijaksana. Konon
karena sikapnya yang rendah hati, beliau tidak menginginkan menjadi seorang
raja dan memilih untuk hidup sederhana.
Sultan Hasanuddin
Nama Lengkap : Sultan
Hasanuddin
Alias :
Ayam Jantan Dari Timur
Profesi :
Pahlawan Nasional
Agama :
Islam
Tempat Lahir :
Makassar, Sulawesi Selatan
Tanggal Lahir :
Minggu, 12 Januari 1631
Zodiac :
Capricorn
Warga Negara :
Indonesia
BIOGRAFI
Terkenal
dengan sebutan 'Ayam Jantan Dari Timur', Sultan Hasanuddin adalah pahlawan
nasional dari Sulawesi, tepatnya dari Kerajaan Gowa. Sultan Hasanuddin adalah
Raja Gowa ke-16, putra dari I Manuntungi Daeng Mattola yang bergelar Sultan
Malikussaid (ayah) dan ibunya bernama I Sabbe To'mo Lakuntu.
Ilmu
berpolitik, diplomasi, ilmu pemerintahan dan ilmu perang dipelajari Hasanuddin
ketika ikut mendampingi ayahnya melakukan perundingan-perundingan penting,
ditambah dengan bimbingan Karaeng Pattingaloang, mangkubumi kerajaan Gowa, yang
sangat berpengaruh dan cerdas.
Pergaulan
Hasanuddin yang luas dengan rakyat jelata, orang asing dan Melayu membuatnya
sering dipercaya menjadi utusan ayahnya untuk mengunjungi daerah dan kerajaan
lain.
Pada usia
21 tahun, Sultan Hasanuddin ditugaskan untuk menjabat bagian pertahanan
Kerajaan Gowa. Di sinilah Sultan Hasanuddin mulai bermain strategi mengatur
pertahanan untuk melawan serangan Belanda yang ingin memonopoli perdagangan di
Maluku.
Setahun
kemudian ayahnya wafat, dan atas titah beliau, Sultan Hasanuddin yang
seharusnya tidak ada dalam garis tahta dinobatkan menjadi raja karena
kepintaran dan keahliannya.
Peperangan
dengan Belanda berlangsung alot karena dua kubu memiliki kekuatan armada yang
sebanding. Hingga Belanda menemukan bahwa daerah-daerah di bawah kekuasaan Gowa
mudah dihasut dan dipecah belah.
Arung
Palakka yang merupakan sahabat sepermainan Sultan Hasanuddin saat kecil
memimpin pemberontakan Raja Bone terhadap Kerajaan Gowa.
Tahun
1662, Belanda kembali mengobarkan perang saudara dan di tahun 1664, Sultan
Ternate, Sultan Buton dan Arung Palakka berhasil disatukan di bawah kendali
Belanda.
Setelah 16
tahun berperang tidak hanya dengan Belanda namun juga dengan rakyatnya sendiri
(yang memberontak), Sultan Hasanuddin akhirnya kalah dalam peperangan tahun
1669.
Di tahun
yang sama Sultan Hasanuddin mundur dari jabatannya sebagai Raja Gowa dan
memilih menjadi pengajar agama Islam sambil tetap menanamkan rasa kebangsaan
dan persatuan. Sultan Hasanuddin wafat tanggal 12 Juni 1670, dan tidak mau
bekerja sama dengan Belanda hingga akhir hayatnya.
Sultan Agung
Nama Lengkap : Sultan
Agung Hanyokrokusumo
Alias :
Raden Mas Rangsang
Profesi :
Pahlawan Nasional
Tempat Lahir : Kutagede,
Kesultanan Mataram
Tanggal Lahir :
Senin, 0 -1 1593
Warga Negara : Indonesia
Anak :
Raden Mas Sayidin
BIOGRAFI
Sultan
Agung Hanyokrokusumo (1593 - 1645) adalah raja Kesultanan Mataram yang
memerintah pada tahun 1613-1645.
Di bawah
kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan
Nusantara pada saat itu. Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan,
Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia.
Nama
aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas
Rangsang. Sultan Agung merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyokrowati dan
Ratu Mas Adi Dyah Banowati.
Ayahnya
adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa raja
Pajang. Pada awal pemerintahannya, Mas Rangsang bergelar Panembahan Agung.
Kemudian setelah menaklukkan Madura tahun 1624, dia mengganti gelarnya menjadi
Susuhunan Agung atau disingkat Sunan Agung.
Pada 1641
Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab. Gelar tersebut adalah Sultan
Abdullah Muhammad Maulana Mataram, yang diperolehnya dari pemimpin Ka'bah di
Makkah. Sultan Agung naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun.
Pada tahun
1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk mengajak
Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah.
Pada tahun
1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut melawan
Surabaya. Meskipun demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan
VOC.
Menyadari
kekuatan bangsa Belanda tersebut, Sultan Agung mulai berpikir untuk
memanfaatkan VOC dalam persaingan menghadapi Surabaya dan Banten. Maka pada
tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC.
Kedua
pihak saling mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu
saat Mataram menyerang Surabaya. Sultan Agung pantang menyerah menghadapi
penjajah yang sangat kuat.
Dia
mencoba menjalin hubungan dengan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan
VOC-Belanda. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena menyadari posisi
Portugis saat itu sudah lemah.
Seluruh
Pulau Jawa akhirnya berada dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia
yang masih diduduki militer VOC-Belanda. Sedangkan desa Banten telah
berasimilasi melalui peleburan kebudayaan.
Wilayah
luar Jawa yang berhasil ditundukkan adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan
Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan
diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.
Sultan
Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar tidak hanya dibangun
di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang
adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian.
Negeri-negeri
pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga
kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor pertanian. Sultan Agung juga
menaruh perhatian pada kebudayaan.
Dia
memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka
yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa
Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga
dikenal sebagai penulis naskah berbau mistis, berjudul Sastra Gending.
Di
lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa Bagongan
yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat demi untuk menghilangkan
kesenjangan satu sama lain.
Dengan
demikian diharapkan dapat terciptanya rasa persatuan di antara penghuni istana.
Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat.
Dia
membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan
Mataram mulai dari dirinya. Sultan juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai
tuntunan hidup trah Mataram.
Sesuai
dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh
putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram.
Sultan Ageng Tirtayasa
Nama Lengkap : Sultan
Ageng Tirtayasa
Alias :
Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah | Sultan Ageng Titayasa
Profesi :
Pahlawan Nasional
Agama :
Islam
Tempat Lahir : Banten
Tanggal Lahir :
Sabtu, 0 -1 1631
Warga Negara : Indonesia
BIOGRAFI
Sultan
Ageng Tirtayasa, beliau adalah pahlawan yang berasal dari provinsi Banten.
Lahir pada tahun 1631. Beliau putra dari Sultan Abdul Ma’ali Ahmad dan Ratu
Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640 - 1650.
Perjuangan
beliau salah satunya adalah menentang Belanda karena VOC menerapkan perjanjian
monopoli perdagangan yang merugikan kesultanan dan rakyat Banten.
Dimasa mudanya beliau diberi gelar Pangeran Surya. Peran Sultan Ageng dalam
perkembangan Islam di Banten sangat berpengaruh. Dia menginginkan Banten
mempunyai kerajaan Islam.
Langkah
yang beliau tempuh pertama dalam sektor ekonomi. Kesejahteraan rakyat
ditingkatkan melalui pencetakan sawah-sawah baru serta irigasi yang sekaligus
berfungsi sebagai sarana perhubungan.
Sultan
Ageng tidak hanya mendobrak perekonomian rakyat menjadi lebih baik tetapi juga
berperan besar di bidang keagamaan. Dia mengangkat Syekh Yusuf, seorang ulama
asal Makassar, menjadi mufti kerajaan yang bertugas menyelesaikan urusan
keagamaan dan penasehat sultan dalam bidang pemerintahan.
Dia juga
menggalakkan pendidikan agama, baik di lingkungan kesultanan maupun di
masyarakat melalui pondok pesantren.
Ketika
menjadi raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa dikenal cerdas dan menghargai
pendidikan. Perkembangan pendidikan agama Islam maju dengan pesat.
Nilai-nilai
yang dimunculkan dari Sultan Ageng Tirtayasa. Sebagai seorang pemimpin, ia
adalah pemimpin yang sangat amanah dan memiliki visi ke depan membangun
bangsanya.
Sultan
Ageng Tirtayasa adalah seorang pemimpin yang sangat visioner, ahli perencanaan
wilayah dan tata kelola air, egaliter dan terbuka serta berwawasan
internasional.
Kesultanan
Banten aktif membina hubungan baik dan kerjasama dengan berbagai pihak di
sekitarnya atau di tempat yang jauh sekalipun.
Sekitar
tahun 1677 Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang sedang memberontak
terhadap Mataram. Tidak hanya itu, Banten juga menjalin hubungan baik dengan
Makasar, Bangka, Cirebon dan Indrapur.
Karakter
Sultan Ageng Tirtayasa mewakili karakter kepemimpinan dan intelektual.
Bagi dia, kepentingan rakyat adalah segala-galanya. Ketegasan pemimpin juga
tidak kalah penting.
Pada tahun
1683, Sultan Ageng tertangkap dan dipenjarakan di Jakarta. Ia meninggal dunia
dalam penjara. Ia dimakamkan di komplek pemakaman raja-raja Banten di sebelah
utara Masjid Agung Banten. Atas jasa-jasanya pada negara, Sultan Ageng
Tirtayasa diberi gelar Pahlawan Nasional.
Baabullah dari Ternate
Dilahirkan
tanggal
10 Februari 1528,
kaicil (pangeran) Baab adalah putera
Sultan Khairun (
1535-
1570)
dengan permaisurinya
Boki
Tanjung, puteri
Sultan Alauddin I dari Bacan. Sultan
Khairun sangat memperhatikan pendidikan calon penggantinya, sejak kecil
pangeran Baab bersama saudara-saudaranya telah digembleng oleh para mubalig dan
panglima dimana ia memperoleh pemahaman tentang ilmu agama dan ilmu perang
sekaligus. Sejak remaja ia juga telah turut mendampingi ayahnya menjalankan
urusan pemerintahan dan kesultanan.
Ketika
pecah
perang
Ternate–Portugis yang pertama (
1559-
1567),
Sultan Khairun mengutus putera – puteranya sebagai panglima untuk menghantam
kedudukan Portugis di Maluku dan Sulawesi, salah satunya adalah pangeran Baab
yang kemudian tampil sebagai panglima yang cakap dan berhasil memperoleh
kemenangan bagi Ternate. Ternate sukses menahan ambisi Portugis sekaligus
memenangkan banyak wilayah baru.
Kapitan Pattimura
Nama Lengkap : Kapitan
Pattimura
Alias :
Pattimura | Thomas Matulessy
Profesi :
Pahlawan Nasional
Agama :
Islam
Tempat Lahir :
Hualoy, Hualoy, Seram Selatan, Maluku
Tanggal Lahir :
Minggu, 8 Juni 1783
Zodiac :
Gemini
Warga Negara :
Indonesia
BIOGRAFI
Pattimura
lahir pada tanggal 8 Juni 1783 dari ayah Frans Matulesi dengan Ibu Fransina
Silahoi. Munurut M. Sapidja ( penulis buku sejarah pemerintahan pertama)
mengatakan bahwa “pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal
dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak
dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja
Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah
teluk di Seram Selatan"
Ia adalah
pahlawan yang berjuang untuk Maluku melawan VOC Belanda. Sebelumnya Pattimura
adalah mantan sersan di militer Inggris. pada tahun 1816 Inggris bertekuk lutut
kepda belanda. Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat
tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik,
ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku
akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura.
Sebagai
panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama
pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengoordinir raja-raja dan patih
dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan,
menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Dalam perjuangan
menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan
Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura hanya dapat
dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh
Belanda.
Di
Saparua, dia dipilih oleh rakyat untuk memimpin perlawanan. Untuk itu, ia pun
dinobatkan bergelar Kapitan Pattimura. Pada tanggal 16 Mei 1817, suatu
pertempuran yang luar biasa terjadi. Rakyat Saparua di bawah kepemimpinan
Kapitan Pattimura tersebut berhasil merebut benteng Duurstede. Tentara Belanda
yang ada dalam benteng itu semuanya tewas, termasuk Residen Van den Berg.
Pasukan
Belanda yang dikirim kemudian untuk merebut kembali benteng itu juga
dihancurkan pasukan Kapitan Pattimura. Alhasil, selama tiga bulan benteng
tersebut berhasil dikuasai pasukan Kapitan Patimura. Namun, Belanda tidak mau
menyerahkan begitu saja benteng itu. Belanda kemudian melakukan operasi
besar-besaran dengan mengerahkan pasukan yang lebih banyak dilengkapi dengan
persenjataan yang lebih modern. Pasukan Pattimura akhirnya kewalahan dan
terpukul mundur.
Di sebuah
rumah di Siri Sori, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap pasukan Belanda. Bersama
beberapa anggota pasukannya, dia dibawa ke Ambon. Di sana beberapa kali dia
dibujuk agar bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu
ditolaknya.
Para tokoh
pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang
gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Atas kegigihannya
memperjuangkan kemerdekaan, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “Pahlawan
Perjuangan Kemerdekaan” oleh pemerintah Republik Indonesia.
Tuanku Imam Bondjol
Nama Lengkap :
Tuanku Imam Bondjol
Alias :
No Alias
Profesi :
Pahlawan Nasional
Agama :
Islam
Tempat Lahir :
Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat
Warga Negara :
Indonesia
Ayah :
Khatib Bayanuddin
Ibu :
Hamatun
BIOGRAFI
Tuanku
Imam Bonjol adalah salah seorang tokoh ulama, pemimpin dan pejuang yang
berperang melawan Belanda dalam sebuah peperangan yang dikenal dengan nama
Perang Padri pada tahun 1803-1837. Tuanku Imam Bonjol lahir dengan nama asli
Muhammad Shahab di Bonjol pada tahun 1772. Dia merupakan putra dari pasangan
Khatib Bayanuddin yang merupakan seorang alim ulama dari Sungai Rimbang,
Suliki, Lima Puluh Kota dengan istrinya Hamatun. Sebagai ulama dan pemimpin
masyarakat setempat, Muhammad Shahab atau Tuanku Imam Bonjol memperoleh
beberapa gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam.
Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau
nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di
Bonjol. Dia sendiri akhirnya lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Tuanku
Imam Bonjol.
Nama
Tuanku Imam Bonjol dikenal sebagai pemuka agama Islam dengan pribadi yang
santun. Sosok Tuanku Imam Bonjol hingga kini tidak bisa dilepaskan dari Kaum
Paderi. Kaum Paderi merupakan sebutan yang diberikan kepada sekelompok masyarakat
pendukung utama penegakan syiar agama dalam tatanan masyarakat yang zaman dulu
populer di tanah Minangkabau terutama pada masa Perang Padri.
Kelompok
ini merupakan penganut agama Islam yang menginginkan pelaksanaan hukum Islam
secara menyeluruh di Kerajaan Pagaruyung. Keterlibatan Tuanku Imam Bonjol
sendiri dalam Perang Padri bermula saat dirinya diminta menjadi pemimpin Kaum
Paderi dalam Perang Padri setelah sebelumnya dia ditunjuk oleh Tuanku Nan
Renceh sebagai Imam di Bonjol. Tuanku Imam Bonjol dipercaya untuk menjadi
pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.
Tuanku Nan
Renceh merupakan salah satu anggota Harimau Nan Salapan yang merupakan sebutan
untuk pimpinan beberapa perguruan yang kemudian menjadi pemimpin dari Kaum
Padri.
Dengan ditunjuknya sebagai pemimpin, maka kini komando Kaum Paderi ada di
tangan Tuanku Imam Bonjol. Sebagai pemimpin, Tuanku Imam Bonjol harus
mewujudkan cita-cita yang diimpikan oleh pemimpin Kaum Paderi sebelumnya
walaupun harus melalui peperangan.
Perang Padri muncul sebagai sarana Kaum Padri (Kaum Ulama) dalam menentang
perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di kalangan masyarakat yang dilindungi
oleh para penguasa setempat dalam kawasan Kerajaan Pagaruyung, seperti
kesyirikan (mendatangi kuburan-kuburan keramat), perjudian, penyabungan ayam,
penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau dan umumnya pelonggaran
pelaksanaan kewajiban ibadah agama Islam.
Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang telah memeluk Islam untuk
meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah
peperangan pada tahun 1803.
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang
melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri
awalnya dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpin oleh
Yang Dipertuan Pagaruyung yakni Sultan Arifin Muningsyah.
Ketika
mulai terdesak, Kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821 yang
justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan
Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri. Peperangan ini sendiri pada akhirnya
peperangan ini dapat dimenangkan Belanda dengan susah payah dan dalam waktu
yang sangat lama.
Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang Belanda ke Palupuh untuk
berunding. Tiba di tempat itu Tuanku Imam Bonjol langsung ditangkap dan dibuang
ke Cianjur, Jawa Barat kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak,
Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itulah Tuanku Imam Bonjol meninggal
dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat
pengasingannya tersebut.
Pada masa kepemimpinannya, Tuanku Imam Bonjol mulai menyesali beberapa tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya,
sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain, fanatisme
tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.
Perjuangan
yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan
kepahlawanannya dalam menentang penjajahan. Sebagai penghargaan dari pemerintah
Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol
diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.
Biodata Sisingamangaraja
Lahir :
Bakkara, Tapanuli, 18 Februari 1845
Meninggal :
Simsim, 17 Juni 1907
Makam :
Palau Samosir
Anak :
Lopian, Patuan Anggi, Patuan Nagari
Pasangan/Istri : Boru
Simanjuntak, Boru Situmorang, Boru Sagala, Boru Nadeak, Boru Siregar
Penghargaan :
Pahlawan Kemerdekaan Nasional (SK Presiden RI No. 590/1961 )
Sisingamangaraja XII dalam
biografi hidupnya, terlahir dengan nama Patuan Bosar Ompu Boru Situmorang.
Pada 1867, ayahnya meninggal akibat penyakit kolera. Kemudian, ia diangkat
menggantikan ayahnya menjadi raja dengan bergelar Sisingamangaraja XII.
Pada awal masa pemerintahannya, kegiatan pengembangan agama Kristen yang dipimpin
oleh Nommensen dari Jerman sedang berlangsung di Tapanuli. Belanda ikut
masuk dengan berlindung di balik kegiatan tersebut. Namun, lambat laun Belanda
mulai menunjukkan itikad tidak baik dan bermaksud ingin menguasai wilayah
kekuasaan Sisingamangaraja XII. Sisingamangaraja XII kemudian mengadakan
musyawarah bersama raja-raja dan panglima daerah Humbang, Toba, Samosir, dan
Pakpak. Kemudian, ketegangan antara Belanda dan Sisingamangaraja meningkat
hingga menimbulkan konflik. Upaya jalan damai sudah tidak dapat lagi ditempuh.
Pada 19 Februari 1878, Sisingamangaraja XII bersama
rakyat Tapanuli mulai melancarkan serangan terhadap pos pasukan Belanda di
Bahal Batu, dekat Tarutung. Pertempuran yang tak seimbang membuat
Sisingamangaraja dan pasukannya kalah dan terpaksa mundur dari Bahal Batu.
Namun, perlawanan pasukan Sisingamangaraja masih tetap tinggi, terutama di
desa-desa yang belum tunduk pada Belanda, seperti Butar, Lobu Siregar, Tangga
Bantu, dan Balige. Sebaliknya, Belanda semakin gencar mengejar Sisingamangaraja
XII sampai ke desa-desa dan melakukan pembakaran serta menawan raja-raja desa.
Akibatnya pertempuran meluas hingga ke beberapa daerah seperti Sipintu-pintu,
Tangga Batu, Balige, dan Bakkara. Namun, Sisingamangaraja tetap gigih
melakukan perang gerilya.
Pada Mei 1883, pos Belanda di Uluan dan Balige
kembali diserang oleh Sisingamangaraja. Setahun kemudian (1884), kekuatan
Belanda di Tangga Batu berhasil dilumpuhkan. Belanda melakukan upaya pendekatan
dan menawarkan penobatan Sisingamangaraja sebagai Sultan Batak dengan berbagai
hak istimewa. Namun, beliau menolaknya dengan tegas. Pada 1904, Belanda
melakukan pengepungan ketat. Pada 1907 Sisingamangaraja berhasil lolos. Namun,
upaya keras Belanda akhirnya membuahkan hasil dengan mengetahui tempat
persembunyian Sisingamangaraja di Hutan Simsim. 17 Juni 1907, markas
Sisingamangaraja dikepung Belanda. Dalam suatu pertempuran jarak dekat,
komandan pasukan Belanda kembali memintanya menyerah dan menjanjikan akan
menobatkan Sisingamangaraja menjadi Sultan Batak. Namun, Sisingamangaraja tetap
tidak mau tunduk dan memilih lebih baik mati.
Terjadilan pertempuran sengit yang menewaskan hampir
seluruh keluarga dan pasukannya. Akhirnya, Patuan Bosar Ompu Pulo alias Raja
Sisingamangaraja XII bersama dua putra dan satu putrinya, serta beberapa
panglimanya yang berasal dari Aceh gugur sebagai kusuma bangsa.
Teuku Umar
Nama Lengkap :
Teuku Umar
Alias :
No Alias
Profesi :
Pahlawan Nasional
Agama :
Islam
Tempat Lahir :
Meulaboh
Anak :
Cut Gambang
BIOGRAFI
Lahir di
Meulaboh, Aceh Barat pada 1854, Teuku Umar adalah salah satu pahlawan nasional
Indonesia. Tercatat, pria yang diyakini memiliki taktik unik melawan penjajah
ini pernah memimpin perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873 sampai 1899. Teuku
Umar sendiri merupakan keturunan Minangkabau. Kakeknya, Datuk Makdum Sati,
dikenal berjasa terhadap Sultan Aceh.
Teuku Umar
kecil memiliki sifat pemberani. Selain itu ia juga dikenal cerdas dan pang
menyerah, serta memiliki hobi berkelahi. Ketika berusia 19 tahun dan diangkat
sebagai keuchik Daya Meulaboh, terjadi perang Aceh. Teuku Umar lantas bergabung
bersama para pejuang di kampungnya hingga Aceh Barat.
Setahun
kemudian Teuku Umar melepas masa lajangnya dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang
Glumpang. Dan karena ingin meningkatkan derajatnya, ia kemudian menikah lagi
dengan puteri Panglima Sagi XXV Mukim bernama Nyak Malighai yang membuatnya
menerima gelar Teuku dan dikaruniai anak perempuan bernama Cut Gambang yang
lahir di tempat pengungsian. Tak hanya sampai di situ, di tahun 1880 Teuku Umar
kembali menikah. Kali ini dengan putri pamannya, janda Teuku Ibrahim Lamnga
bernama Cut Nyak Dien. Keduanya lantas berjuang bersama menyerang pos-pos
Belanda di Krueng.
Teuku Umar
sempat berdamai dengan Belanda tahun 1883. Namun satu tahun kemudian perang
kembali tersulut di antara keduanya. 9 tahun kemudian tepatnya 1893, Teuku Umar
mulai menemukan cara untuk mengalahkan Belanda dari 'dalam'. Ia lantas
berpura-pura menjadi antek Belanda. Aksi ini sampai membuat Cut Nyak Dien marah
besar karena bingung dan malu.
Atas
jasanya menundukkan beberapa pos pertahanan di Aceh, Teuku Umar mendapat
kepercayaan Belanda. Ia lalu diberi gelar Johan Pahlawan dan diberi kebebasan
untuk membentuk pasukan sendiri berjumlah 250 orang tentara dengan senjata
lengkap dari Belanda. Pihak Belanda tidak tahu, kalau itu hanya akal-akalan
Teuku Umar semata yang telah berkolaborasi dengan para pejuang Aceh sebelumnya.
Tak lama kemudian, Teuku Umar malah diberi lagi tambahan 120 prajurit dan 17
panglima termasuk Pangleot sebagai tangan kanannya.
30 Maret
1896, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda. Di sinilah ia kemudian melancarkan
serangan berdasarkan siasat dan strategi perang miliknya. Bersama pasukan yang
sudah dilengkapi 800 pucuk senjata, 25.000 peluru, 500 kg amunisi dan uang 18
ribu dolar, Teuku Umar yang dibandu Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan 400
orang pengikutnya membantai Belanda. Tercatat, ada 25 orang tewas dan 190
luka-luka dari pihak Belanda.
Gubuernur
Deykerhof sebagai pengganti Gubernur Ban Teijn yang telah memberi kepercayaan
kepada Teuku Umar selama ini merasa sakit hati karena telah dikhianati Teuku
Umar. Ia lantas memerintahkan Van Heutsz bersama pasukan besarnya untuk
menangkap Teuku Umar. Serangan mendadak ke daerah Meulaboh itulah yang
merenggut nyawa Teuku Umar. Ia ditembak dan gugur di medan perang, tepatnya di
Kampung Mugo, pada 10 Februari 1899.
Lebih dari
70 tahun kemudian, pemerintah Indonesia menganugerahi Teuku Umar sebagai
pahlawan nasional lewat SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973.
Nama pahlawan pemberani ini juga dijadikan nama jalan di kota-kota besar.
Tjoet Njak Dhien
Nama Lengkap :
Tjoet Njak Dhien
Alias :
Cut Nyak Dien
Profesi :
Pahlawan Nasional
Agama :
Islam
Tempat Lahir :
Lampadang, Aceh
Tanggal Lahir :
Selasa, 0 -1 1848
Warga Negara :
Indonesia
BIOGRAFI
Tjoet Njak
Dhien merupakan pahlawan nasional wanita Indonesia asal Aceh. Ia berasal dari
keluarga bangsawan yang agamis di Aceh Besar. Ketika usianya menginjak 12
tahun, Tjoet Njak Dhien dinikahkan dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga yang juga
berasal dari keluarga bangsawan.
Semenjak Belanda menyerang Aceh untuk pertama kalinya pada tanggal 26 Maret
1873, semangat Tjoet Njak Dhien untuk memerangi pasukan kolonial Belanda mulai
timbul. Peristiwa gugurnya Teuku Cek Ibrahim Lamnga dalam peperangan melawan
Belanda pada tanggal 29 Juni 1878 semakin menyulut kemarahan dan kebencian
wanita pemberani ini terhadap kaum penjajah tersebut. Ia kemudian menikah lagi
dengan Teuku Umar yang juga merupakan pahlawan nasional Indonesia di tahun
1880.
Awalnya
Tjoet Njak Dhien menolak pinangan Teuku Umar, tetapi ia akhirnya setuju untuk
menikah dengan pria yang masih memiliki garis kekerabatan dengan dirinya ini
setelah Teuku Umar menyanggupi keinginannya untuk ikut turun ke medan perang.
Ia sangat ingin mengenyahkan Belanda dari bumi Aceh dan menuntut balas atas
kematian suaminya terdahulu.
Bersama dengan Teuku Umar dan para pejuang Aceh lainnya, Tjoet Njak Dhien pun
gencar melakukan serangan terhadap Belanda. Dalam masa perjuangan tersebut,
Tjoet Njak Dhien sempat mendapat makian dari Tjoet Njak Meutia yang juga
pejuang wanita dari Aceh lantaran keputusan suaminya, Teuku Umar, menyerahkan
diri pada Belanda dan bekerja sama dengan mereka. Padahal Teuku Umar tidak
benar-benar menyerahkan diri pada Belanda. Hal ini ia lakukan sebagai taktik
untuk mendapatkan peralatan perang Belanda. Setelah niatnya terlaksana dan ia
kembali pada Tjoet Njak Dhien dan para pengikutnya, Belanda yang merasa telah
dikhianati oleh Teuku Umar melancarkan operasi besar-besaran untuk memburu
pasangan suami-istri tersebut. Teuku Umar pun akhirnya gugur dalam pertempuran
di Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899.
Sepeninggal
suaminya, Tjoet Njak Dhien masih meneruskan perlawanan kepada Belanda. Namun,
sakit encok yang dideritanya dan kondisi matanya yang mulai rabun membuat para
pengawalnya merasa kasihan dan akhirnya membuat kesepakatan dengan Belanda
bahwa Tjoet Njak Dhien boleh ditangkap asalkan diperlakukan secara terhormat,
bukan sebagai penjahat perang.
Setelah
Belanda menyetujui kesepakatan ini, Tjoet Njak Dhien pun akhirnya ditangkap dan
dibawa ke Banda Aceh. Ia kemudian dibuang ke Sumedang tanggal 11 Desember 1905
dan menghembuskan napas terakhirnya di sana tanggal 6 November 1908. Jenazah
Tjoet Njak Dhien kemudian dikebumikan di Gunung Puyuh, Sumedang.
Teungku Cik Di Tiro
Nama Lengkap :
Teungku Cik Di Tiro
Alias : Muhammad Saman | Tengku Cik Di Tiro
| Teungku Chik Di Tiro | Teuku Cik Di Tiro | Teuku Tjik Ditiro
Profesi :
Pahlawan Nasional
Agama :
Islam
Tempat Lahir :
Pidie, Aceh
BIOGRAFI
Teungku
Cik Di Tiro lahir dan besar di lingkungan yang sangat ketat menjalankan agama
Islam. Meski pada zaman itu belum ada sekolah, pria yang bernama asli Muhammad
Saman ini dikenal sebagai anak yang sangat haus akan ilmu. Beliau berguru pada
banyak orang, termasuk kedua orang tuanya sendiri. Bahkan pada usia 40 tahun,
beliau masih berguru di Lamkrak, daerah Aceh Besar.
Teungku
Cik Di Tiro tumbuh besar bersamaan dengan penaklukan Aceh oleh tentara kompeni
Belanda pada tahun 1873. Daerah Aceh Besar jatuh ke tangan kompeni dan kekuatan
Aceh mulai lemah. Ketika menunaikan ibadah haji di Mekkah, tak lupa beliau
terus memperdalam ilmu agama saat berjumpa dengan pimpinan-pimpinan Islam yang
ada di sana. Dari situ pula beliau mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin
tersebut dalam melawan imperialisme dan kolonialisme.
Sekembalinya
ke Aceh, beliau memimpin suatu pergerakan yang berujung pada perang melawan
Belanda yang kemudian dikenal dengan nama Perang Sabil. Satu persatu benteng
dan wilayah jajahan Belanda dapat direbut. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan
Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan
lain-lain. Belanda akhirnya terjepit di sekitar kota Banda Aceh dengan
mempergunakan taktik lini konsentrasi (concentratie stelsel) yaitu membuat
benteng yang mengelilingi wilayah yang masih dikuasainya.
Belanda
yang merasa kewalahan menghadapi Teungku Cik Di Tiro akhirnya memakai
"siasat liuk" yang licik. Mereka membayar seorang pekerja dan wanita
dari kerajaan Aceh untuk mengirim makanan yang sudah dibubuhi racun. Tanpa
curiga sedikitpun ia memakannya, dan akhirnya Muhammad Saman meninggal pada
bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong. Sesuai dengan amanatnya, beliau
dimakamkan di Mereue.
Biografi Supriyadi
Supriyadi
adalah pahlawan nasional, tokoh pejuang kemerdekaan dan simbol perlawanan
terhadap pendudukan Jepang. Namanya populer sebagai tokoh PETA yang memberontak
terhadap pendudukan Jepang di Blitar Jawa Timur pada Bulan Februari 1945.
Beliau lahir di Trenggalek, Jawa Timur, 13 April 1923 dan meninggal tahun 1945.
Setelah tamat ELS (setingkat Sekolah Dasar), Suprijadi melanjutkan pendidikan
ke MULO (setingkat Sekolah Pertama), kemudian memasuki Sekolah Pamong Praja di
Magelang.
Pada masa pendudukan Jepang, Suprijadi memasuki
Sekolah Menengah Tinggi. Sesudahnya, ia mengikuti Latihan Pemuda (Seinendoyo)
di Tangerang. Pada bulan Oktober 1943, Jepang membentuk Tentara Pembela Tanah
Air (PETA). PETA dibentuk dengan tujuan untuk memberikan latihan kemiliteran
kepada pemuda-pemuda Indonesia. Mereka selanjutnya akan dipakai untuk membantu
Jepang menahan serbuan sekutu. Tetapi, tokoh-tokoh pergerakan nasional berhasil
menanamkan perasaan kebangsaan di kalangan pemuda-pemuda tersebut.
Suprijadi
mengikuti pendidikan peta dan sesudah itu diangkat menjadi Shodanco di
Blitar.Ia sering bertugas mengawasi para romusya membuat benteng-benteng
pertahanan dipantai selatan.Ia menyaksikan bagaimana sengsaranya para romusya.Makanan
kurang dan kesehatan tidak terjamin.Banyak diantaranya yang meninggal dunia
karena sakit.Suprijadi tidak tahan melihat keadaan itu.Dengan beberapa orang
temanya,ia merencanakan pemberontakan melawan jepang.Walaupun menyadari bahwa
waktu itu Jepang sangat kuat,namun ia tetap berniat untuk melakukan perlawanan.
Pemberontakan
dilancarkan dinihari tanggal 14 februari 1945, di Daidan Blitar. Jepang sangat
terkejut mendengar perlawanan tersebut. Mereka mengerahkan kekuatan yang besar
untuk menangkap anggota-anggota pasukan Peta Blitar.Selain itu,dilakukan pula
siasat membujuk beberapa tokoh pemberontak.karena kurang pengalaman dan
kekuatan tidak seimbang pemberontakan itu ditindas Jepang.Tokoh-tokoh
pemberontak yang tertangkap,diadili dalam mahkamah militer Jepang. Ada yang
dihukum mati dan ada pula yang dipenjara. Suprijadi tidak ikut diadili,bahkan
namanya tidak disebutkan dalam sidang pengadilan. Rupanya ia sudah di bunuh
Jepang pada waktu tertangkap. Sampai saat ini tidak diketahui dimana makam suprijadi.