Jumat, 16 Desember 2016

Kamis, 15 Desember 2016

GERAKAN MENANAM BOUGENVILE DAN BERSIH - BERSIH DALAM RANGKA LIBUR PANJANG SEMESTER I 
SDN SUKOREJO II KECAMATAN TAMBAKREJO BOJONEGORO



Selasa, 06 Desember 2016

Foto Ujian Semester I (Ganjil)
Tahun Pelajaran 2016/2017
SDN SUKOREJO II TAMBAKREJO BOJONEGORO

Jumat, 18 November 2016

Kliping Pahlawan Nasional




KLIPING
PAHLAWAN NASIONAL




 









KELOMPOK 1 :
1.       Aziel Brilliant Ardiansyah
2.       Zona Zaenal Rizky
3.       Mohammad Sholehudin Efendi
4.       Yunita Tri Kurniawati
5.       Saskya Novrista Putri
6.       Mohammad Angga  Aditya Pratama

7.       Mohammad Indra Perdana

KELAS IV




SD NEGERI SUKOREJO II
TAHUN AJARAN 2016/2017

Biodata Pangeran Diponegoro


Nama Kecil                        :  Bendoro Raden Mas Ontowiryo
Nama Kenal                       :  Pangeran Diponegoro
Tempat Lahir                     :  Ngayogyakarta, 11 November 1785
Agama                               : Islam
Wafat                                 : Makassar, 8 Januari 1855
Jabatan dalam Keraton  : Pendamping Hamengkubuwono V
Gelar                                  : Pahlawan Nasional

Diponegoro merupakan seorang keturunan dari kerajaan Mataram Islam, yakni putra dari Hamengkubuwono III sedangkan ibunya bernama Raden Ayu Mangkarawati (seorang selir). Beliau memiliki 9 Istri termasuk di dalamnya selir. 

Sebagaimana sejarah Pangeran Diponegoro yang pasti sudah kamu ketahui, Diponegoro merupakan sosok keturunan keraton yang bersifat arif dan bijaksana. Konon karena sikapnya yang rendah hati, beliau tidak menginginkan menjadi seorang raja dan memilih untuk hidup sederhana.





Sultan Hasanuddin

Nama Lengkap         : Sultan Hasanuddin
Alias                         : Ayam Jantan Dari Timur
Profesi                      : Pahlawan Nasional
Agama                      : Islam
Tempat Lahir            : Makassar, Sulawesi Selatan
Tanggal Lahir           : Minggu, 12 Januari 1631
Zodiac                      : Capricorn
Warga Negara          : Indonesia

BIOGRAFI
Terkenal dengan sebutan 'Ayam Jantan Dari Timur', Sultan Hasanuddin adalah pahlawan nasional dari Sulawesi, tepatnya dari Kerajaan Gowa. Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa ke-16, putra dari I Manuntungi Daeng Mattola yang bergelar Sultan Malikussaid (ayah) dan ibunya bernama I Sabbe To'mo Lakuntu.
Ilmu berpolitik, diplomasi, ilmu pemerintahan dan ilmu perang dipelajari Hasanuddin ketika ikut mendampingi ayahnya melakukan perundingan-perundingan penting, ditambah dengan bimbingan Karaeng Pattingaloang, mangkubumi kerajaan Gowa, yang sangat berpengaruh dan cerdas.
Pergaulan Hasanuddin yang luas dengan rakyat jelata, orang asing dan Melayu membuatnya sering dipercaya menjadi utusan ayahnya untuk mengunjungi daerah dan kerajaan lain.
Pada usia 21 tahun, Sultan Hasanuddin ditugaskan untuk menjabat bagian pertahanan Kerajaan Gowa. Di sinilah Sultan Hasanuddin mulai bermain strategi mengatur pertahanan untuk melawan serangan Belanda yang ingin memonopoli perdagangan di Maluku.
Setahun kemudian ayahnya wafat, dan atas titah beliau, Sultan Hasanuddin yang seharusnya tidak ada dalam garis tahta dinobatkan menjadi raja karena kepintaran dan keahliannya.
Peperangan dengan Belanda berlangsung alot karena dua kubu memiliki kekuatan armada yang sebanding. Hingga Belanda menemukan bahwa daerah-daerah di bawah kekuasaan Gowa mudah dihasut dan dipecah belah.
Arung Palakka yang merupakan sahabat sepermainan Sultan Hasanuddin saat kecil memimpin pemberontakan Raja Bone terhadap Kerajaan Gowa.
Tahun 1662, Belanda kembali mengobarkan perang saudara dan di tahun 1664, Sultan Ternate, Sultan Buton dan Arung Palakka berhasil disatukan di bawah kendali Belanda.
Setelah 16 tahun berperang tidak hanya dengan Belanda namun juga dengan rakyatnya sendiri (yang memberontak), Sultan Hasanuddin akhirnya kalah dalam peperangan tahun 1669.
Di tahun yang sama Sultan Hasanuddin mundur dari jabatannya sebagai Raja Gowa dan memilih menjadi pengajar agama Islam sambil tetap menanamkan rasa kebangsaan dan persatuan. Sultan Hasanuddin wafat tanggal 12 Juni 1670, dan tidak mau bekerja sama dengan Belanda hingga akhir hayatnya.



Sultan Agung

Nama Lengkap      : Sultan Agung Hanyokrokusumo
Alias                       : Raden Mas Rangsang
Profesi                    : Pahlawan Nasional
Tempat Lahir         : Kutagede, Kesultanan Mataram
Tanggal Lahir         : Senin, 0 -1 1593
Warga Negara        : Indonesia
Anak                      : Raden Mas Sayidin
BIOGRAFI
Sultan Agung Hanyokrokusumo (1593 - 1645) adalah raja Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645.
Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu. Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia.
Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang. Sultan Agung merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyokrowati dan Ratu Mas Adi Dyah Banowati.
Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa raja Pajang. Pada awal pemerintahannya, Mas Rangsang bergelar Panembahan Agung. Kemudian setelah menaklukkan Madura tahun 1624, dia mengganti gelarnya menjadi Susuhunan Agung atau disingkat Sunan Agung.
Pada 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab. Gelar tersebut adalah Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram, yang diperolehnya dari pemimpin Ka'bah di Makkah. Sultan Agung naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun.
Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah.
Pada tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut melawan Surabaya. Meskipun demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan VOC.
Menyadari kekuatan bangsa Belanda tersebut, Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingan menghadapi Surabaya dan Banten. Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC.
Kedua pihak saling mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu saat Mataram menyerang Surabaya. Sultan Agung pantang menyerah menghadapi penjajah yang sangat kuat.
Dia mencoba menjalin hubungan dengan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC-Belanda. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena menyadari posisi Portugis saat itu sudah lemah.
Seluruh Pulau Jawa akhirnya berada dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC-Belanda. Sedangkan desa Banten telah berasimilasi melalui peleburan kebudayaan.
Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.
Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian.
Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor pertanian. Sultan Agung juga menaruh perhatian pada kebudayaan.
Dia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistis, berjudul Sastra Gending.
Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa Bagongan yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat demi untuk menghilangkan kesenjangan satu sama lain.
Dengan demikian diharapkan dapat terciptanya rasa persatuan di antara penghuni istana. Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat.
Dia membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram mulai dari dirinya. Sultan juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan hidup trah Mataram.
Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram.



Sultan Ageng Tirtayasa

Nama Lengkap      : Sultan Ageng Tirtayasa
Alias                       : Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah | Sultan Ageng Titayasa
Profesi                    : Pahlawan Nasional
Agama                   : Islam
Tempat Lahir         : Banten
Tanggal Lahir         : Sabtu, 0 -1 1631
Warga Negara        : Indonesia

BIOGRAFI
Sultan Ageng Tirtayasa, beliau adalah pahlawan yang berasal dari provinsi Banten. Lahir pada tahun 1631. Beliau putra dari Sultan Abdul Ma’ali Ahmad dan Ratu Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640 - 1650.
Perjuangan beliau salah satunya adalah menentang Belanda karena VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan kesultanan dan rakyat Banten.
Dimasa mudanya beliau diberi gelar Pangeran Surya. Peran Sultan Ageng dalam perkembangan Islam di Banten sangat berpengaruh. Dia menginginkan Banten mempunyai kerajaan Islam.
Langkah yang beliau tempuh pertama dalam sektor ekonomi. Kesejahteraan rakyat ditingkatkan melalui pencetakan sawah-sawah baru serta irigasi yang sekaligus berfungsi sebagai sarana perhubungan.
Sultan Ageng tidak hanya mendobrak perekonomian rakyat menjadi lebih baik tetapi juga berperan besar di bidang keagamaan. Dia mengangkat Syekh Yusuf, seorang ulama asal Makassar, menjadi mufti kerajaan yang bertugas menyelesaikan urusan keagamaan dan penasehat sultan dalam bidang pemerintahan.
Dia juga menggalakkan pendidikan agama, baik di lingkungan kesultanan maupun di masyarakat melalui pondok pesantren.
Ketika menjadi raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa dikenal cerdas dan menghargai pendidikan. Perkembangan pendidikan agama Islam maju dengan pesat.
Nilai-nilai yang dimunculkan dari Sultan Ageng Tirtayasa. Sebagai seorang pemimpin, ia adalah pemimpin yang sangat amanah dan memiliki visi ke depan membangun bangsanya.
Sultan Ageng Tirtayasa adalah seorang pemimpin yang sangat visioner, ahli perencanaan wilayah dan tata kelola air, egaliter dan terbuka serta berwawasan internasional.
Kesultanan Banten aktif membina hubungan baik dan kerjasama dengan berbagai pihak di sekitarnya atau di tempat yang jauh sekalipun.
Sekitar tahun 1677 Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang sedang memberontak terhadap Mataram. Tidak hanya itu, Banten juga menjalin hubungan baik dengan Makasar, Bangka, Cirebon dan Indrapur.
Karakter Sultan Ageng Tirtayasa mewakili karakter kepemimpinan dan intelektual.  Bagi dia, kepentingan rakyat adalah segala-galanya. Ketegasan pemimpin juga tidak kalah penting.
Pada tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap dan dipenjarakan di Jakarta. Ia meninggal dunia dalam penjara. Ia dimakamkan di komplek pemakaman raja-raja Banten di sebelah utara Masjid Agung Banten. Atas jasa-jasanya pada negara, Sultan Ageng Tirtayasa diberi gelar Pahlawan Nasional.




Baabullah dari Ternate


Sultan Baabullah (10 Februari 1528 - permulaan 1583), juga ditulis Sultan Babullah atau Sultan Baab (tulisan Eropa) adalah sultan dan penguasa Kesultanan Ternate ke-24 yang berkuasa antara tahun 1570 - 1583. Ia dikenal sebagai sultan Ternate dan Maluku terbesar sepanjang sejarah, yang berhasil mengalahkan Portugis dan mengantarkan Ternate ke puncak keemasan di akhir abad ke-16. Sultan Baabullah juga dijuluki sebagai penguasa 72 pulau berpenghuni yang meliputi pulau–pulau di nusantara bagian timur, Mindanao selatan dan kepulauan Marshall.
Dilahirkan tanggal 10 Februari 1528, kaicil (pangeran) Baab adalah putera Sultan Khairun (1535-1570) dengan permaisurinya Boki Tanjung, puteri Sultan Alauddin I dari Bacan. Sultan Khairun sangat memperhatikan pendidikan calon penggantinya, sejak kecil pangeran Baab bersama saudara-saudaranya telah digembleng oleh para mubalig dan panglima dimana ia memperoleh pemahaman tentang ilmu agama dan ilmu perang sekaligus. Sejak remaja ia juga telah turut mendampingi ayahnya menjalankan urusan pemerintahan dan kesultanan.
Ketika pecah perang Ternate–Portugis yang pertama (1559-1567), Sultan Khairun mengutus putera – puteranya sebagai panglima untuk menghantam kedudukan Portugis di Maluku dan Sulawesi, salah satunya adalah pangeran Baab yang kemudian tampil sebagai panglima yang cakap dan berhasil memperoleh kemenangan bagi Ternate. Ternate sukses menahan ambisi Portugis sekaligus memenangkan banyak wilayah baru.




Kapitan Pattimura

Nama Lengkap         : Kapitan Pattimura
Alias                         : Pattimura | Thomas Matulessy
Profesi                      : Pahlawan Nasional
Agama                      : Islam
Tempat Lahir            : Hualoy, Hualoy, Seram Selatan, Maluku
Tanggal Lahir           : Minggu, 8 Juni 1783
Zodiac                      : Gemini
Warga Negara          : Indonesia

BIOGRAFI
Pattimura lahir pada tanggal 8 Juni 1783 dari ayah Frans Matulesi dengan Ibu Fransina Silahoi. Munurut M. Sapidja ( penulis buku sejarah pemerintahan pertama) mengatakan bahwa “pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan"
Ia adalah pahlawan yang berjuang untuk Maluku melawan VOC Belanda. Sebelumnya Pattimura adalah mantan sersan di militer Inggris. pada tahun 1816 Inggris bertekuk lutut kepda belanda. Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura.
Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengoordinir raja-raja dan patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda.
Di Saparua, dia dipilih oleh rakyat untuk memimpin perlawanan. Untuk itu, ia pun dinobatkan bergelar Kapitan Pattimura. Pada tanggal 16 Mei 1817, suatu pertempuran yang luar biasa terjadi. Rakyat Saparua di bawah kepemimpinan Kapitan Pattimura tersebut berhasil merebut benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada dalam benteng itu semuanya tewas, termasuk Residen Van den Berg.
Pasukan Belanda yang dikirim kemudian untuk merebut kembali benteng itu juga dihancurkan pasukan Kapitan Pattimura. Alhasil, selama tiga bulan benteng tersebut berhasil dikuasai pasukan Kapitan Patimura. Namun, Belanda tidak mau menyerahkan begitu saja benteng itu. Belanda kemudian melakukan operasi besar-besaran dengan mengerahkan pasukan yang lebih banyak dilengkapi dengan persenjataan yang lebih modern. Pasukan Pattimura akhirnya kewalahan dan terpukul mundur.
Di sebuah rumah di Siri Sori, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap pasukan Belanda. Bersama beberapa anggota pasukannya, dia dibawa ke Ambon. Di sana beberapa kali dia dibujuk agar bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu ditolaknya.
Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Atas kegigihannya memperjuangkan kemerdekaan, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan” oleh pemerintah Republik Indonesia.




Tuanku Imam Bondjol

Nama Lengkap             : Tuanku Imam Bondjol
Alias                              : No Alias
Profesi                           : Pahlawan Nasional
Agama                          : Islam
Tempat Lahir                : Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat
Warga Negara               : Indonesia
Ayah                             : Khatib Bayanuddin
Ibu                                : Hamatun
BIOGRAFI
Tuanku Imam Bonjol adalah salah seorang tokoh ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam sebuah peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1837. Tuanku Imam Bonjol lahir dengan nama asli Muhammad Shahab di Bonjol pada tahun 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Khatib Bayanuddin yang merupakan seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota dengan istrinya Hamatun. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab atau Tuanku Imam Bonjol memperoleh beberapa gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Dia sendiri akhirnya lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Nama Tuanku Imam Bonjol dikenal sebagai pemuka agama Islam dengan pribadi yang santun. Sosok Tuanku Imam Bonjol hingga kini tidak bisa dilepaskan dari Kaum Paderi. Kaum Paderi merupakan sebutan yang diberikan kepada sekelompok masyarakat pendukung utama penegakan syiar agama dalam tatanan masyarakat yang zaman dulu populer di tanah Minangkabau terutama pada masa Perang Padri.
Kelompok ini merupakan penganut agama Islam yang menginginkan pelaksanaan hukum Islam secara menyeluruh di Kerajaan Pagaruyung. Keterlibatan Tuanku Imam Bonjol sendiri dalam Perang Padri bermula saat dirinya diminta menjadi pemimpin Kaum Paderi dalam Perang Padri setelah sebelumnya dia ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di Bonjol. Tuanku Imam Bonjol dipercaya untuk menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.
Tuanku Nan Renceh merupakan salah satu anggota Harimau Nan Salapan yang merupakan sebutan untuk pimpinan beberapa perguruan yang kemudian menjadi pemimpin dari Kaum Padri.
Dengan ditunjuknya sebagai pemimpin, maka kini komando Kaum Paderi ada di tangan Tuanku Imam Bonjol. Sebagai pemimpin, Tuanku Imam Bonjol harus mewujudkan cita-cita yang diimpikan oleh pemimpin Kaum Paderi sebelumnya walaupun harus melalui peperangan.
Perang Padri muncul sebagai sarana Kaum Padri (Kaum Ulama) dalam menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di kalangan masyarakat yang dilindungi oleh para penguasa setempat dalam kawasan Kerajaan Pagaruyung, seperti kesyirikan (mendatangi kuburan-kuburan keramat), perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau dan umumnya pelonggaran pelaksanaan kewajiban ibadah agama Islam.
Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri awalnya dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpin oleh Yang Dipertuan Pagaruyung yakni Sultan Arifin Muningsyah.
Ketika mulai terdesak, Kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821 yang justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri. Peperangan ini sendiri pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda dengan susah payah dan dalam waktu yang sangat lama.
Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang Belanda ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat itu Tuanku Imam Bonjol langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itulah Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.
Pada masa kepemimpinannya, Tuanku Imam Bonjol mulai menyesali beberapa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain, fanatisme tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan. Sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.






Biodata Sisingamangaraja


Lahir                            : Bakkara, Tapanuli, 18 Februari 1845
Meninggal                    : Simsim, 17 Juni 1907
Makam                         : Palau Samosir
Anak                            : Lopian, Patuan Anggi, Patuan Nagari
Pasangan/Istri             : Boru Simanjuntak, Boru Situmorang, Boru Sagala, Boru Nadeak, Boru Siregar
Penghargaan               : Pahlawan Kemerdekaan Nasional (SK Presiden RI No. 590/1961 )

Biografi Sisingamangaraja XII

Sisingamangaraja XII dalam biografi hidupnya, terlahir dengan nama Patuan Bosar Ompu Boru Situmorang. Pada 1867, ayahnya meninggal akibat penyakit kolera. Kemudian, ia diangkat menggantikan ayahnya menjadi raja dengan bergelar Sisingamangaraja XII.  Pada awal masa pemerintahannya, kegiatan pengembangan agama Kristen yang dipimpin oleh Nommensen dari Jerman sedang berlangsung di Tapanuli. Belanda ikut masuk dengan berlindung di balik kegiatan tersebut. Namun, lambat laun Belanda mulai menunjukkan itikad tidak baik dan bermaksud ingin menguasai wilayah kekuasaan Sisingamangaraja XII.  Sisingamangaraja XII kemudian mengadakan musyawarah bersama raja-raja dan panglima daerah Humbang, Toba, Samosir, dan Pakpak. Kemudian, ketegangan antara Belanda dan Sisingamangaraja meningkat hingga menimbulkan konflik. Upaya jalan damai sudah tidak dapat lagi ditempuh.
Pada 19 Februari 1878, Sisingamangaraja XII bersama rakyat Tapanuli mulai melancarkan serangan terhadap pos pasukan Belanda di Bahal Batu, dekat Tarutung. Pertempuran yang tak seimbang membuat Sisingamangaraja dan pasukannya kalah dan terpaksa mundur dari Bahal Batu. Namun, perlawanan pasukan Sisingamangaraja masih tetap tinggi, terutama di desa-desa yang belum tunduk pada Belanda, seperti Butar, Lobu Siregar, Tangga Bantu, dan Balige. Sebaliknya, Belanda semakin gencar mengejar Sisingamangaraja XII sampai ke desa-desa dan melakukan pembakaran serta menawan raja-raja desa. Akibatnya pertempuran meluas hingga ke beberapa daerah seperti Sipintu-pintu, Tangga  Batu, Balige, dan Bakkara. Namun, Sisingamangaraja tetap gigih melakukan perang gerilya.
Pada Mei 1883, pos Belanda di Uluan dan Balige kembali diserang oleh Sisingamangaraja. Setahun kemudian (1884), kekuatan Belanda di Tangga Batu berhasil dilumpuhkan. Belanda melakukan upaya pendekatan dan menawarkan penobatan Sisingamangaraja sebagai Sultan Batak dengan berbagai hak istimewa. Namun, beliau menolaknya dengan tegas. Pada 1904, Belanda melakukan pengepungan ketat. Pada 1907 Sisingamangaraja berhasil lolos. Namun, upaya keras Belanda akhirnya membuahkan hasil dengan mengetahui tempat persembunyian Sisingamangaraja di Hutan Simsim. 17 Juni 1907, markas Sisingamangaraja dikepung Belanda. Dalam suatu pertempuran jarak dekat, komandan pasukan Belanda kembali memintanya menyerah dan menjanjikan akan menobatkan Sisingamangaraja menjadi Sultan Batak. Namun, Sisingamangaraja tetap tidak mau tunduk dan memilih lebih baik mati.
Terjadilan pertempuran sengit yang menewaskan hampir seluruh keluarga dan pasukannya. Akhirnya, Patuan Bosar Ompu Pulo alias Raja Sisingamangaraja XII bersama dua putra dan satu putrinya, serta beberapa panglimanya yang berasal dari Aceh gugur sebagai kusuma bangsa.



Teuku Umar

Nama Lengkap             : Teuku Umar
Alias                              : No Alias
Profesi                           : Pahlawan Nasional
Agama                          : Islam
Tempat Lahir                : Meulaboh
Anak                             : Cut Gambang
Istri                               : Nyak Malighai, Nyak Sofiah, Tjoet Njak Dhien
BIOGRAFI
Lahir di Meulaboh, Aceh Barat pada 1854, Teuku Umar adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia. Tercatat, pria yang diyakini memiliki taktik unik melawan penjajah ini pernah memimpin perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873 sampai 1899. Teuku Umar sendiri merupakan keturunan Minangkabau. Kakeknya, Datuk Makdum Sati, dikenal berjasa terhadap Sultan Aceh. 
Teuku Umar kecil memiliki sifat pemberani. Selain itu ia juga dikenal cerdas dan pang menyerah, serta memiliki hobi berkelahi. Ketika berusia 19 tahun dan diangkat sebagai keuchik Daya Meulaboh, terjadi perang Aceh. Teuku Umar lantas bergabung bersama para pejuang di kampungnya hingga Aceh Barat. 
Setahun kemudian Teuku Umar melepas masa lajangnya dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Dan karena ingin meningkatkan derajatnya, ia kemudian menikah lagi dengan puteri Panglima Sagi XXV Mukim bernama Nyak Malighai yang membuatnya menerima gelar Teuku dan dikaruniai anak perempuan bernama Cut Gambang yang lahir di tempat pengungsian. Tak hanya sampai di situ, di tahun 1880 Teuku Umar kembali menikah. Kali ini dengan putri pamannya, janda Teuku Ibrahim Lamnga bernama Cut Nyak Dien. Keduanya lantas berjuang bersama menyerang pos-pos Belanda di Krueng.
Teuku Umar sempat berdamai dengan Belanda tahun 1883. Namun satu tahun kemudian perang kembali tersulut di antara keduanya. 9 tahun kemudian tepatnya 1893, Teuku Umar mulai menemukan cara untuk mengalahkan Belanda dari 'dalam'. Ia lantas berpura-pura menjadi antek Belanda. Aksi ini sampai membuat Cut Nyak Dien marah besar karena bingung dan malu.
Atas jasanya menundukkan beberapa pos pertahanan di Aceh, Teuku Umar mendapat kepercayaan Belanda. Ia lalu diberi gelar Johan Pahlawan dan diberi kebebasan untuk membentuk pasukan sendiri berjumlah 250 orang tentara dengan senjata lengkap dari Belanda. Pihak Belanda tidak tahu, kalau itu hanya akal-akalan Teuku Umar semata yang telah berkolaborasi dengan para pejuang Aceh sebelumnya. Tak lama kemudian, Teuku Umar malah diberi lagi tambahan 120 prajurit dan 17 panglima termasuk Pangleot sebagai tangan kanannya.
30 Maret 1896, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda. Di sinilah ia kemudian melancarkan serangan berdasarkan siasat dan strategi perang miliknya. Bersama pasukan yang sudah dilengkapi 800 pucuk senjata, 25.000 peluru, 500 kg amunisi dan uang 18 ribu dolar, Teuku Umar yang dibandu Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan 400 orang pengikutnya membantai Belanda. Tercatat, ada 25 orang tewas dan 190 luka-luka dari pihak Belanda.
Gubuernur Deykerhof sebagai pengganti Gubernur Ban Teijn yang telah memberi kepercayaan kepada Teuku Umar selama ini merasa sakit hati karena telah dikhianati Teuku Umar. Ia lantas memerintahkan Van Heutsz bersama pasukan besarnya untuk menangkap Teuku Umar. Serangan mendadak ke daerah Meulaboh itulah yang merenggut nyawa Teuku Umar. Ia ditembak dan gugur di medan perang, tepatnya di Kampung Mugo, pada 10 Februari 1899.
Lebih dari 70 tahun kemudian, pemerintah Indonesia menganugerahi Teuku Umar sebagai pahlawan nasional lewat SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973. Nama pahlawan pemberani ini juga dijadikan nama jalan di kota-kota besar.



Tjoet Njak Dhien

Nama Lengkap             : Tjoet Njak Dhien
Alias                              : Cut Nyak Dien
Profesi                           : Pahlawan Nasional
Agama                          : Islam
Tempat Lahir                : Lampadang, Aceh
Tanggal Lahir                : Selasa, 0 -1 1848
Warga Negara               : Indonesia
Suami                            : Teuku Cek Ibrahim Lamnga, Teuku Umar
BIOGRAFI
Tjoet Njak Dhien merupakan pahlawan nasional wanita Indonesia asal Aceh. Ia berasal dari keluarga bangsawan yang agamis di Aceh Besar. Ketika usianya menginjak 12 tahun, Tjoet Njak Dhien dinikahkan dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga yang juga berasal dari keluarga bangsawan.
Semenjak Belanda menyerang Aceh untuk pertama kalinya pada tanggal 26 Maret 1873, semangat Tjoet Njak Dhien untuk memerangi pasukan kolonial Belanda mulai timbul. Peristiwa gugurnya Teuku Cek Ibrahim Lamnga dalam peperangan melawan Belanda pada tanggal 29 Juni 1878 semakin menyulut kemarahan dan kebencian wanita pemberani ini terhadap kaum penjajah tersebut. Ia kemudian menikah lagi dengan Teuku Umar yang juga merupakan pahlawan nasional Indonesia di tahun 1880.
Awalnya Tjoet Njak Dhien menolak pinangan Teuku Umar, tetapi ia akhirnya setuju untuk menikah dengan pria yang masih memiliki garis kekerabatan dengan dirinya ini setelah Teuku Umar menyanggupi keinginannya untuk ikut turun ke medan perang. Ia sangat ingin mengenyahkan Belanda dari bumi Aceh dan menuntut balas atas kematian suaminya terdahulu.
Bersama dengan Teuku Umar dan para pejuang Aceh lainnya, Tjoet Njak Dhien pun gencar melakukan serangan terhadap Belanda. Dalam masa perjuangan tersebut, Tjoet Njak Dhien sempat mendapat makian dari Tjoet Njak Meutia yang juga pejuang wanita dari Aceh lantaran keputusan suaminya, Teuku Umar, menyerahkan diri pada Belanda dan bekerja sama dengan mereka. Padahal Teuku Umar tidak benar-benar menyerahkan diri pada Belanda. Hal ini ia lakukan sebagai taktik untuk mendapatkan peralatan perang Belanda. Setelah niatnya terlaksana dan ia kembali pada Tjoet Njak Dhien dan para pengikutnya, Belanda yang merasa telah dikhianati oleh Teuku Umar melancarkan operasi besar-besaran untuk memburu pasangan suami-istri tersebut. Teuku Umar pun akhirnya gugur dalam pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899.
Sepeninggal suaminya, Tjoet Njak Dhien masih meneruskan perlawanan kepada Belanda. Namun, sakit encok yang dideritanya dan kondisi matanya yang mulai rabun membuat para pengawalnya merasa kasihan dan akhirnya membuat kesepakatan dengan Belanda bahwa Tjoet Njak Dhien boleh ditangkap asalkan diperlakukan secara terhormat, bukan sebagai penjahat perang.
Setelah Belanda menyetujui kesepakatan ini, Tjoet Njak Dhien pun akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Ia kemudian dibuang ke Sumedang tanggal 11 Desember 1905 dan menghembuskan napas terakhirnya di sana tanggal 6 November 1908. Jenazah Tjoet Njak Dhien kemudian dikebumikan di Gunung Puyuh, Sumedang.  



Teungku Cik Di Tiro

Nama Lengkap             : Teungku Cik Di Tiro
Alias                              : Muhammad Saman | Tengku Cik Di Tiro | Teungku Chik Di Tiro | Teuku Cik Di Tiro | Teuku Tjik Ditiro
Profesi                           : Pahlawan Nasional
Agama                          : Islam
Tempat Lahir                : Pidie, Aceh

BIOGRAFI
Teungku Cik Di Tiro lahir dan besar di lingkungan yang sangat ketat menjalankan agama Islam. Meski pada zaman itu belum ada sekolah, pria yang bernama asli Muhammad Saman ini dikenal sebagai anak yang sangat haus akan ilmu. Beliau berguru pada banyak orang, termasuk kedua orang tuanya sendiri. Bahkan pada usia 40 tahun, beliau masih berguru di Lamkrak, daerah Aceh Besar.
Teungku Cik Di Tiro tumbuh besar bersamaan dengan penaklukan Aceh oleh tentara kompeni Belanda pada tahun 1873. Daerah Aceh Besar jatuh ke tangan kompeni dan kekuatan Aceh mulai lemah. Ketika menunaikan ibadah haji di Mekkah, tak lupa beliau terus memperdalam ilmu agama saat berjumpa dengan pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana. Dari situ pula beliau mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam melawan imperialisme dan kolonialisme.
Sekembalinya ke Aceh, beliau memimpin suatu pergerakan yang berujung pada perang melawan Belanda yang kemudian dikenal dengan nama Perang Sabil. Satu persatu benteng dan wilayah jajahan Belanda dapat direbut. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda akhirnya terjepit di sekitar kota Banda Aceh dengan mempergunakan taktik lini konsentrasi (concentratie stelsel) yaitu membuat benteng yang mengelilingi wilayah yang masih dikuasainya.
Belanda yang merasa kewalahan menghadapi Teungku Cik Di Tiro akhirnya memakai "siasat liuk" yang licik. Mereka membayar seorang pekerja dan wanita dari kerajaan Aceh untuk mengirim makanan yang sudah dibubuhi racun. Tanpa curiga sedikitpun ia memakannya, dan akhirnya Muhammad Saman meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong. Sesuai dengan amanatnya, beliau dimakamkan di Mereue.



Biografi Supriyadi


Supriyadi adalah pahlawan nasional, tokoh pejuang kemerdekaan dan simbol perlawanan terhadap pendudukan Jepang. Namanya populer sebagai tokoh PETA yang memberontak terhadap pendudukan Jepang di Blitar Jawa Timur pada Bulan Februari 1945. Beliau lahir di Trenggalek, Jawa Timur, 13 April 1923 dan meninggal tahun 1945. Setelah tamat ELS (setingkat Sekolah Dasar), Suprijadi melanjutkan pendidikan ke MULO (setingkat Sekolah Pertama), kemudian memasuki Sekolah Pamong Praja di Magelang. Pada masa pendudukan Jepang, Suprijadi memasuki Sekolah Menengah Tinggi. Sesudahnya, ia mengikuti Latihan Pemuda (Seinendoyo) di Tangerang. Pada bulan Oktober 1943, Jepang membentuk Tentara Pembela Tanah Air (PETA). PETA dibentuk dengan tujuan untuk memberikan latihan kemiliteran kepada pemuda-pemuda Indonesia. Mereka selanjutnya akan dipakai untuk membantu Jepang menahan serbuan sekutu. Tetapi, tokoh-tokoh pergerakan nasional berhasil menanamkan perasaan kebangsaan di kalangan pemuda-pemuda tersebut.
Suprijadi mengikuti pendidikan peta dan sesudah itu diangkat menjadi Shodanco di Blitar.Ia sering bertugas mengawasi para romusya membuat benteng-benteng pertahanan dipantai selatan.Ia menyaksikan bagaimana sengsaranya para romusya.Makanan kurang dan kesehatan tidak terjamin.Banyak diantaranya yang meninggal dunia karena sakit.Suprijadi tidak tahan melihat keadaan itu.Dengan beberapa orang temanya,ia merencanakan pemberontakan melawan jepang.Walaupun menyadari bahwa waktu itu Jepang sangat kuat,namun ia tetap berniat untuk melakukan perlawanan.
Pemberontakan dilancarkan dinihari tanggal 14 februari 1945, di Daidan Blitar. Jepang sangat terkejut mendengar perlawanan tersebut. Mereka mengerahkan kekuatan yang besar untuk menangkap anggota-anggota pasukan Peta Blitar.Selain itu,dilakukan pula siasat membujuk beberapa tokoh pemberontak.karena kurang pengalaman dan kekuatan tidak seimbang pemberontakan itu ditindas Jepang.Tokoh-tokoh pemberontak yang tertangkap,diadili dalam mahkamah militer Jepang. Ada yang dihukum mati dan ada pula yang dipenjara. Suprijadi tidak ikut diadili,bahkan namanya tidak disebutkan dalam sidang pengadilan. Rupanya ia sudah di bunuh Jepang pada waktu tertangkap. Sampai saat ini tidak diketahui dimana makam suprijadi.